Popular Posts

Saturday, January 14, 2012

Mengenal Sufi,,,,

Estetika Sufi dalam Sastra Melayu dan Jejaknya dalam Sastra Modern




sufi.jpg
Estetika Sufi dalam Sastra Melayu dan Jejaknya dalam Sastra Modern 
Oleh: Abdul Hadi W. M.

Babakan penting sejarah sastra Melayu Nusantara mengambil waktu pada peralihan abad ke-16 – 17 M bersamaan dengan derasnya proses pengislaman penduduk Nusantara dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Sumatra, Semenanjung Malaya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusatenggara. Penerimaan Islam secara luas itu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor politik dan perdagangan, tetapi terutama karena Islam yang didakwahkan kepada penduduk kepulauan Nusantara adalah ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang ditafsirkan oleh para ahli tasawuf ke dalam berbagai bidang kehidupan dan ilmu seperti etika, hukum, metafisika, estetika, konsep pemerintahan, ekonomi, politik, seni, sastra, adat istiadat, dan sudah barang tentu dalam berbagai bidang ilmu keagamaan seperti syariah, fiqih, kalam, dan ilmu suluk atau tariqat.
Ajaran Islam bercorak sufistik yang merupakan hasil penafsiran mendalam ahli-ahli tasawuf itu terutama ditulis dalam bahasa Melayu, menggunakan ungkapan-ungkapan sastra dan tidak jarang menggunakan sarana sastra seperti hikayat dan syair, dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, yang selain menggunakan bahasa Arab juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Sebagai bahasa Nusantara pertama yang mengalami proses islamisasi, bahasa Melayu telah siap menjadi bahasa ilmu pengetahuan, keagamaan, dan sastra, karena perbendaraan katanya telah diperkaya dengan kata-kata dan istilah-istilah konseptual Islam terutama dari bahasa Arab. Terintegrasinya bahasa Melayu ke dalam peradaban Islam itu memungkin ia menjelma sebagai bahasa pergaulan utama antar etnik di Nusantara baik di bidang perdagangan maupun di bidang intelektual-keagamaan dan kebudayaan.
Mantapnya kedudukan tersebut diperoleh karena penyebaran agama Islam yang telah marak sejak abad ke-13 M. Orang-orang Islam yang berpengaruh di bidang perdagangan, politik dan kegiatan intelektual menggunakan bahasa Melayu sebagai media utama bagi penyampaian ajaran agama, ilmu-ilmu keagamaan dan falsafah (al-Attas 1970; Braginsky 1992; Abdul Hadi W. M. 2001). Cepatnya perkembangan bahasa Melayu itu bisa terjadi karena pusat-pusat utama penyebaran agama Islam seperti Samudra Pasai (1272-1450), Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700) merupakan kota-kota dagang dan pelabuhan utama di Selat Malaka. Di kota-kota inilah kapal-kapal asing singgah untuk mengambil barang dagangan, sehingga dengan cepatnya pula kota-kota ini maju dan makmur, yang dengan demikian mudah pula berkembang menjadi pusat kegiatan intelektual dan kebudayaan. Ketiga kerajaan ini pula sejak lama penduduknya menggunakan bahasa Melayu yang diwarisi dari pendahulunya yaitu kerajaan Sriwijaya (Collin 1992; Azyumardi Azra 1995:22-55; Ibrahim Alfian 1999:53)
Pada awal abad ke-16 M dengan ditalukkannya Malaka oleh Portugis (1511) serta merta kegiatan penulisan sastra Melayu mandeg untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi tidak lama kemudian, pada tahun 1516 M, sebuah kerajaan Islam lain yaitu Aceh Darussalam muncul tidak jauh dari bekas tapak kerajaan Samudra Pasai. Dengan munculnya Aceh kegiatan penulisan kitab keagamaan dan sastra Melayu berkembang pesat. Karya-karya Melayu yang ditulis di Pasai dan Malaka disalin kembali dalam jumlah besar. Majunya perkembangan penulisan kitab itu terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ala’uddin Riayat Syah (1589-1604) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) . Taufik Abdullah (2003) menyebutkan pada periode ini terjadi gelombang kedua dalam sejarah intelektual Islam di Nusantara.
Gelombang pertama mengambil masa pada abad ke-14-16 M, yaitu sejak munculnya Samudra Pasai hingga berkembangnya Malaka dan Aceh. Pada periode yang sangat gencar dilakukan ialah pengenalan asas-asas kosmopolitan dari ajaran Islam. Karya-karya Arab dan Persia disadur dalam jumlah besar ke dalam bahasa Melayu, dan dengan demikian Islam hadir sebagai realitas dunia baru dalam pikiran bangsa-bangsa Nusantara. Dalam gelombang kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sevagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Karya-karya dari zaman Hindu Buddha disadur dan ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam. Zaman ini menandakan berakhirnya zaman peralihan dari tradisi Hindu-Budhha ke tradisi Islam, dan bermulanya penulisan karya-karya yang benar-benar bercorak Islam baik secara estetik maupun isi yang dikandungnya. Realitas yang ditampilkan adalah realitas yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan Melayu Nusantara yang telah berhasil diislamkan.
       
Memang akhir masa peralihan ini tidak dapat dibatasi dengan jelas, karena karya-karya zaman peralihan – seperti saduran karya-karya Arab dan Parsi dan gubahan dari karya-karya zaman Hindu yang telah diislamkan – masih terus disalin dan digubah dalam sastra Melayu, bahkan dalam sastra Nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Aceh, Bugis Makassar dan lain-lain. Tetapi proses islamisasi benar-benar telah dijalankan pada abad ke-16 dan 17 itu. Dua gejala dominan, yang saling berkaitan muncul pada masa ini, yaitu di satu pihak kecenderungan untuk memusatkan diri pada renungan-renungan tasawuf yang mendalam dan personal dalam ikhtiar menjawab masalah hubungan manusia dengan Yang Abadi; dan di pihak lain ikhtiar untuk membangun tatanan kehidupan sosial politik berdasarkan cara pandang Islam, yang dengan itu sebuah kehidupan masyarakat religius dan beradab dapat diselenggarakan.
Kecenderungan kedua ini memunculkan hasrat menyusun etika politik dan teori pemerintahan yang ideal, yang dengan itu kesadaran bersama dan solidaritas kemasyarakatan dapat direalisasikan. Ini terlihat mula-mula dalam karya Bukhari al-Jauhari Taj al-Salatin atau Mahkota Raja-raja (1603 M), kemudian dalam karya Nuruddin al-Raniri Bustan al-Salatin (1637 M).
Pada masa inilah muncul tokoh besar di bidang penulisan sastra keagamaan dan adab seperti tampak pada Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai atau Syamsudin Sumatrani dan Bukhari al-Jauhari. Walaupun beberapa sarjana Eropah seperti Overbeck (1920), Windstedt (1920) dan lain-lain memandang sebelah mata terhadap keaslian dan relevansi karya para penulis itu, tidak sedikit sarjana mutakhir, misalnya al-Attas (1970), Brakel (1979), Braginsky (1992), Teeuw (1994) dan lain-lain memandang lebih arif.
Malahan mereka dapat menunjukkan relevansi serta sumbangan besar penulis-penulis klasik itu bagi perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan. Menurut Braginsky, hasil-hasil sastra Melayu Islam sangat penting, karena ia telah memainkan peranannya sebagai fundasi utama kebudayaan Melayu Nusantara, yaitu kebudayaan Indonesia dan Malaysia, dan berperan besar pula sebagai penyebar gagasan dan pandangan dunia yang relevan sampai abad ini.
Kebaruan karya para penulis abad ke-16 dan 17 itu ialah pertama-tama, terletak pada keberanian pengarang untuk mengekspresikan pengalaman dan pengetahuan pribadinya. Ini dimungkinkan karena mereka berkarya berdasarkan estetika sufi dan ilmu tasawuf. Dalam kenyataan pengalaman rohani dalam tasawuf hanya bisa diperoleh secara personal, namun demikian pengalaman itu bisa dibagi kepada orang lain, terutama mereka yang sejalan dalam kehidupan rohani dan keagamaan. Karya-karya penulis sufi seperti Hamzah Fansuri dan murid-muridnya mereka juga mengungkapkan bahwa manusia, selaku hamba dan khalifah Tuhan di dunia memiliki kedudukan setara di hadapan Tuhan di hadapan Tuhan dan hukum ilahi. Demikianlah yang mereka ajarkan pertama-tama ialah pentingnya individualitas dan tanggungjawab pribadi dalam menjalankan kehidupan keagamaan dan sosial. Mereka juga mengajarkan semangat persaudaraan dan egaliter. Kecuali itu dengan memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi maka berarti mereka telah menempatkan manusia sebagai pusat dan penggerak utama perputaran peristiwa di dunia. Sebagai khalifah Tuhan mereka memiliki freewill dan harus menjalani kehidupan berdasarkan freewill atau ikhtiar pribadinya.
                                          
Mengenai pandangan dunia (worldview) yang mendasar karya para penulis sufi Melayu itu, Braginsky (1992) mengatakan bahwa karya-karya itu, dalam batas tertentu, berhasil menyadarkan pembaca Nusantara tentang betapa pentingnya budaya membaca dan menulis bagi perkembangan dan kelangsungan peradaban. Arti penting lain ialah karena sampai abad ke-19, karya-karya tersebut menjadi teladan dan dijadikan sumber ilham bagi penulisan karya sejenis dalam berbagai bahasa Nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Bugis Makasar, Banjar dan lain-lain. Malahan beberapa gagasan penting mereka, termasuk wawasan estetiknya, dilanjutkan oleh beberapa penulis abad ke-20 dengan memberinya cita rasa modern.
Peranan Penulis dan Fungsi Sastra
Karya-karya penulis Melayu klasik, yang dihasilkan sejak akhir abad ke-16 sampai menjelang akhir abad ke-19, amat berlimpah dan aneka ragam jenis dan coraknya. Sesuai jenisnya karya-karya tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Hikayat Nabi Muhammad s.a.w.; (2) Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah; (3) Hikayat Para Sahabat Nabi; (4) Hikayat Orang-orang Saleh dan Suci; (5) Hikayat Pahlawan-pahlawan Islam; (6) Karangan bercorak Tasawuf; (7) Karangan bercorak kesejarahan; (8) Sastra Adab; (9) Cerita Berbingkai, termasuk kisah binatang; (10) Syair Rampai; (11) Cerita Jenaka; (12) Pelipur lara dan lain-lain.
Masing-masing jenis dari hikayat ini mempunyai ciri dan fungsi tersendiri, dan sumber penulisannya juga berbeda-beda. Hikayat Nabi Muhammad s.a.w misalnya bersumber pada sejarah kehidupan Nabi Muhammad dari sumber-sumber paling awal, termasuk kesaksian kerabat dekat dan sahaba-sahabat Nabi yang mengikuti perjuangannya menyebarkan agama Islam sejak awal. Khususnya seperti yang dikumpulkan oleh al-Tabari pada abad ke-8 M dalam kitabnya Sirah Nabi Muhammad. Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah misalnya ditulis berdasarkan sumber-sumber al-Qur’an, dilengkapi dengan kisah-kisah yang telah lama dikenal bangsa Arab dan Ibrani melalui Taurat, Zabur dan Injil. Kisah berhubungan dengan asal-usul kerohanian Nabi Muhammad yang diramu berdasarkan konsep kosmologi sufi ialah Hikayat Kejadian Nur Muhamad.
Hikayat Para Sahabat Nabi benar-benar didasarkan atas sumber sejarah, sebagaimana juga sejarah orang-orang saleh dan suci atau para wali. Hikayat pahlawan-pahlawan Islam digubah berdasar sumber sejarah dan kisah-kisah lain yang bercorak fiksi. Sastra Adab adalah disusun berdasarkan sumber yang beragam seperti al-Qur`an, Hadis, Tarikh, Cerita Rakyat dan kitab-kitab keagamaan seperti fiqih, kalam, tasawuf dan siyas (politik). Yang benar-benar bercorak fiksi ialah cerita berbingkai dan pelipur lara. Berdasarkan sumbernya saja dengan segera kita akan melihat betapa karya-karya tersebut benar-benar bercorak Islam, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa sastra Islam itu tidak ada. Pesan moral, kerohanian dan keagamaan yang disajikan karya-karya ini juga berkaitan dengan ajaran Islam yang ditemui dalam tafsir al-Qur’an, kitab syariah dan tasawuf.
Braginsky (1993) mengelompokkan karya-karya Melayu warisan peradaban Islam menjadi tiga berdasar peringkat wilayah atau lapisan garapannya: (1) Karya yang menggarap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin; (2) Karya yang menggarap lapis Faedah dan Hikmah; (3) Karya yang menggarap lapis Hiburan dan Estetika Zahir.
(1). Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan (kamal), menggambarkan upaya manusia mencapai pengetahuan tertinggi (ma`rifat), jalan kerohanian (suluk), bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan rohani (salik) dan lain sebagainya. Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan jiwa ini juga menggambarkan cita-cita manusia mencapai pribadi insan kamil meneladani Nabi Muhammad s.a.w., kerinduan seorang `asyik (pencinta) kepada Sang Kekasih (mahbub), yaitu Yang Satu. Dalam karya kategori ini dipaparkan juga jalan pengenalan diri, yang amat penting bagi seorang Muslim untuk mengenal perannya sebagai khalifah Tuhan di atas dunia dan sekaligus hamba-Nya. Termasuk dalam kategori ini ialah syair-syair Tasawuf yang sering dikenal sebagai Syair Tauhid dan Makrifat.
Selain ditulis dalam bentuk puisi didaktis dan imaginatif simbolik, juga ada yang ditulis dalam bentuk kisah perumpamaan. Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnya seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lain-lain termasuk dalam kategori ini. Kecuali karya tiga penulis ini terdapat karya ahli tasawuf lain yang namanya belum diketahui. Di antaranya Syair Perahu (dalam tiga versi yang berbeda), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa' (Lautan Perempuan), Syair Dagang (yang agaknya ditulis penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung Pingai, Syair Alif dan lain-lain.
Di samping itu para sufi amat produktif menulis risalah tasawuf dan interpretasi teks dalam bahasa sastra yang tinggi dengan pengetahuan yang dalam. Di antara penulis risalah tasawuf dan ta'wil (hermeneutika sufi) yang terkenal ialah Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Nuruddin Raniri, Abdul Rauf Singkili, Yusuf Mengkasari, Daud Fatani, Abdul Samad Palimbangi, Ki Fakhrudin Palimbangi, Arsyad Banjari, Daud Pontiani dan lain-lain. Selain karya bercorak sejarah dan hikayat-hikayat tertentu, karangan-karangan ahli tasawuf ini sangat menarik perhatian pengkaji.
Menurut Braginsky (1993) karya-karya yang termasuk ke dalam kategori ini mempunyai tujuan menyucikan kalbu dan jiwa manusia, karena kalbulah yang merupakan sarana penghayatan intuitif terhadap keberadaan Yang Haq dan Yang Satu. Keindahan yang dipaparkan dalam karya-karya katagori ini ialah keindahan tersirat atau keindahan batin.
(2) Karya-karya yang mengungkap sfera faedah. Termasuk Hikayat Nabi dan para sahabatnya, Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan adab. Karya katagori ini bermaksud memperkuat dan menyempurnakan akal manusia, yaitu sarana intelektualnya, dengan membeberkan kisah-kisah yang mengandung hikmah dan pengajaran. Di antara karya termasuk sastra adab yang terkenal ialah Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja) karya Nuruddin Raniri dan Nasih Luqman al-Hakim (anonim). Karya-karya ini menjadi cermin pengajaran dan tuntunan bagi raja-raja, pegawai pemerintahan dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintahan agar tercapai keadilan dan kesejahteraan sosial, dan dengan demikian agama berkembang. Sedangkan karya bercorak sejarah menggambarkan jatuh bangunnya raja-raja dan dinasti, sebab-sebab kejatuhan dan kebangunannya, peristiwa-peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan jalannya sejarah.
Karya bercorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Bustan al-Salatin merupakan karya bercorak sejarah dan adab. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Jumlah karya bercorak sejarah sangat banyak. Selain yang telah disebut, karya kesejarahan lain yang masyhur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Banjar, Misa Melayu, Hikayat Johor, Hikayat Maulana Hasanuddin, Hikayat Patani, Sejarah Raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Di Jawa genre serupa disebut babad seperti Babad Tanah Jawi, Babad Pasundan, Babad Giyanti, Babad Madura, Babad Besuki dan lain-lain. Di Minangkabau karya kesejarahan disebut tambo. Di antara yang masyhur ialah Tambo Minangkabau.
Karya bercorak sejarah yang ditulis dalam bentuk syair di antaranya ialah Syair Perang Mengkasar, Syair Sultan Maulana, Syair Moko-moko, Syair Sultan Zainal Abidin, Syair Perang Siak, Syair Pangeran Syarif Hasyim, Syair Singapura Terbakar, Syair Siti Zubaidah Perang dengan Cina, Syair Kompeni Walanda Perang dengan Cina dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya bercorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari kisah-kisah dan legenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangan kejadian dan hikmah yang dikandung dalam kejadian tersebut. Krisis yang terjadi dalam sebuah negara, yang membuat jatuhnya sebuah dinasti atau seorang raja, selalu dicari sebabnya pada krisis moral dan akhlaq, serta penyimpangannya terhadap ajaran Islam, misalnya tidak dilaksanakannya keadilan dan raja tidak lagi taat pada undang-undang dan tidak berperan sebagai pelindung rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya.
Menurut Ali Ahmad lagi, munculnya karya kesejarahan dan hikayat yang bernaeka ragam itu, kian menjadikan kesusastraan Melayu tidak lagi streotaip, tetapi terbuka kepada berbagai-bagai kemungkinan. Ini menjadikan nilainya meningkat, dan pada saat yang sama memperkuat dasar keberadaannya, sebab ia menumpukan maknanya pada nilai Tauhid dan konsekwensi moralnya bagi mereka yang menghayati keluasan makna Tauhid. Juga karya-karya itu, serta penyebarannya yang luas, menggambarkan latar belakang tempat dan kebudayaan Melayu dengan jelasnya di mana Islam telah dihayati pada peringkat fikrah dan amalannya, dalam arti berkaitan dengan soal hubungan manusia dengan Tuhan dan berkaitan pula dengan soal hubungan manusia dengan sesamanya. Dengan demikian estetika yang ditonjolkan ialah estetika berkenaan hikmah atau Estetika Hikmah.
(3) Karya yang menggarap sfera hiburan dan estetika zahir (luaran), termasuk ke dalam jenis ini ialah Pelipur Lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana penghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan.
Kesan-kesan kejiwaan yang kacau harus diserasikan dengan nilai moral dan ajaran agama, dan upaya ke arah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepada jiwa, yaitu menghibur atau melipur. Karangan-karangan dalam kategori ini termasuk hikayat dan syair percintaan, kisah petualangan yang dibumbui kisah-kisah luar biasa atau ajaib. Kisah-kisah ajaib ini tidak dimaksudkan sebagai mitos, melainkan sebagai representasi pengalaman jiwa manusia yang ruang kejadiannya berlaku di alam misal atau alam imaginal.
Alam misal mempunyai tempat tersendiri dalam teori sastra dan estetika Islam, karena apa yang dialami seseorang dalam alam tersebut merupakan realitas yang menghubungkan pengalaman zahir dengan pengalaman transendental. Penyajian peristiwa di alam misal juga berfungsi sebagai pemaparan simbolik sebuah kisah, yang tidak lain merupakan kias perjalanan manusia dari alam rendah menuju alam tinggi. Perjalanan tersebut sering digambarkan sebagai perjalanan menuju puncak bukit atau gunung untuk menyucikan diri, yang sesudah itu sang tokoh hikayat turun kembali ke dunia nyata untuk memainkan perannya selaku khalifah Tuhan di atas dunia. Dalam hikayat yang tergolong pelipur lara tidak jarang penulis menyelipkan ajaran agama atau tasawuf. Misalnya sebagaimana nampak dalam Hikayat Syekh Mardan yang masyhur itu dan telah dikaji oleh beberapa sarjana.
Puisi dan Kesadaran Diri
Dalam sejarah sastra Indonesia, kesadaran akan pentingnya individualitas, getaran hati nurani atau pengucapan diri, bukan baru bermula pada abad ke-20 dengan munculnya Pujangga Baru dan Chairil Anwar. Hamzah Fansuri dan murid-muridnya telah mempelopori kesadaran tersebut lebih tiga abad sebelum mereka. Begitu pula gagasan tentang kemerdekaan penyair dalam merombak bahasa demi pengucapan estetik, yang disebut licensia poetica, secara kreatif dan luar biasa telah diterapkan dalam penulisan oleh Hamzah Fansuri dan murid-muridnya.
Kecuali itu karya para penyair Sumatra itu membuka babakan baru sejarah kepenyairan kita dengan puisi-puisi, yang menyajikan pencerahan profetik. Karya-karya mereka otentik sebab didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan pribadi. Pengalaman dan pengetahuan tersebut dicapai melalui upaya intelektual dan spiritual yang disadari. Karena itu tidak mengherankan apabila banyak kritikus, seperti al-Attas, Brakel dan Braginsky, memandang Hamzah Fansuri sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu, seorang perintis jalan yang melalui karya-karyanya berhasil membawa sastra Melayu memasuki babakan yang universal dan kosmopolitan dalam semangat penciptaan.
Malahan Teuw (1994) tidak tanggung-tanggung menyebut Hamzah Fansuri sebagai Pemula Puisi Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan sang sufi dari Barus itu tiga abad mendahului pembaharuan Pujangga Baru dan Chairil Anwar. Di antara pembaharuan itu termasuk:
             
Pertama, apabila penyair-penyair sebelumnya malu-malu membubuhkan namanya dalam karyanya, Hamzah Fansuri tidak segan-segan membubuhkan nama pribadi dan gelar atau takhallusnya dalam setiap akhir karangannya, yaitu bait penutup ikat-ikatan sajaknya. Munculnya Hamzah Fansuri membuat zaman Sahibul Hikayat menjadi masa silam.
Kedua, Hamzah Fansuri memperkenalkan bentuk puisi baru, yaitu Syair, yang kemudian sangat popular. Dari perkataan 'syair' itulah perkataan 'penyair' berasal, begitu pula istilah-istilah sastra lain seperti sajak, bait dan lain-lain, berasal dari karangan-karangan Hamzah Fansuri. Sebagai bentuk puisi empat (4) baris dengan skema rima AAAA, syair tidak ada dalam kesusastraan Arab dan Persia, dan juga tidak dalam kesusastraan Nusantara sebelumnya. Namun demikian Hamzah dapat mencipta bentuk puisi tersebut disebabkan pengetahuannya yang dalam mengenai puitika Arab dan Persia, serta puitika Melayu yang hidup dalam tradisi sastra lisan.
Ketiga, Hamzah Fansuri sangat kreatif menggunakan bahasa, atau dengan menggunakan istilah Chairil Anwar 'sangat destruktif' terhadap bahasa Melayu. Melalui kreativitas sang penyair maka lahirlah bahasa Melayu Baru yang sangat berbeda dari bahasa Melayu lama serta lebih kaya dan bertenaga.Kata-kata dan ungkapan Arab, malahan petikan ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis yang sangat bermakna, sengaja dimasukkan dengan bebasnya ke dalam baris sajak-sajaknya. Tidak kurang terdapat 800 kata-kata Arab lepas dijumpai dalam 32 ikat-ikatan syairnya, belum termasuk puluhan ungkapan dan potongan ayat-ayat al-Qur'an yang sangat dalam dan luas maknanya.
Petikan atau potongan ayat-ayat al-Qur`an itu juga berfungsi sebagai unsur estetik dan sekaligus pelita yang menerangi makna keseluruhan sajak. Lagi pula bagi seorang sufi puisi tidak lain ialah tafsir spiritual dan estetis terhadap ayat-ayat al-Qur`an tertentu.
Saya ingin mengutip pernyataan Teeuw: "Mungkin pada penglihatan pertama pembaca menganggap pemakaian kata-kata Arab berlebih-lebihan dan mengganggu. Pembaca yang terbiasa menganggap puisi dapat dinikmati hanya dengan perasaan semata-mata, tanpa perlu berpikir, akan kecewa membaca puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri memerlukan pengetahuan yang luas di bidang bahasa dan kebudayaan Arab Persia, termasuk pengetahuan tentang Islam dan tasawufnya. Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetuan yang diperlukan untuk membaca puisi Hamzah Fansuri bukanlah tanda kelemahan atau kegagalan puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri juga kaya dengan unsur puitik: diksi puisinya khas, ungkapan-ungkapannya kaya dan orisinal, begitu juga tamsil dan imagerinya. Juga ada kreativitas bunyi..."
Pendek kata, menurut Teeuw, Hamzah Fansuri menciptakan karya yang individual dan modern, serta sangat kreatif terhadap bahasa dan intens dalam berekspresi.Bagaimana Hamzah Fansuri membubuhkan namanya dalam bait-bait penutup ikat-ikatan syairnya, dengan bahasa yang kreatif dan intens, dapat diperhatikan melalui contoh berikut:
Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al-`Alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam

Hamzah sesat di dalam hutan
Pergi uzlat berbulan-bulan
Akan kiblatnya picik dan jawadan
Itulah lambat mendapat Tuhan

Hamzah miskin orang `uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi Arabi
Nentiasa wasil dengan Yang Baqi

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka`bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah

Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Romanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh


Bersamaan dengan pembubuhan nama dirinya sang penyair mengungkapkan pengalaman kerohanian yang diraihnya dalam jalan tasawuf dan gagasan universal Sufi tentang diri, yaitu hakekat terdalam kemanusiaan kita yang bersifat kerohanian di mana rahasia penciptaan tersembunyi dan mesti disingkap oleh mereka yang ingin mengenal Tuhan. Salah satu ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri yang indah dan mengungkapkan gagasan tentang pencarian diri melalui penerbangan jiwa ke puncak kehidupan ialah ikat-ikatan yang bermula dengan "Tayr al-`uryan" (Burung Fakir). Dalam sajak itu Hamzah memakai tamsil burung sebagaimana digunakan Fariduddin `Attar dalam Mantiq al-Tayr (Percakapan Burung) yang masyhur itu. Tamsil burung dipakai untuk menggambarkan jiwa atau roh manusia yang senantiasa gelisah disebabkan kerinduannya yang mendalam kepada Yang Satu, asal segala sesuatu. Tayr al-`uryan, arti harafiahnya burung telanjang, yaitu jiwa seorang faqir yang telah bebas dari beban kepentingan diri dan jiwanya damai mutmaina) karena kerinduannya kepada Yang Satu telah terpenuhi.

Demikianlah Hamzah Fansuri menulis:
Tayr al-`uryan unggas sultani
Bangsanya nur al-rahmani
Tasbihnya Allah subhani


Unggas itu terlalu pingai
Warnanya terlalu bisai
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da'im di balik tirai

Awalnya itu bernama ruhi
Millatnya terlalu safi
Mushafnya besar surahnya Kufi
Tubuhnya itu terlalu suci

`Arasy Allah akan pangkalannya
Habib Allah akan taulannya
Bayt Allah akan sangkarannya
Menghadap Tuhan dengan sopannya

Sufinya bukannya kain
Fi`l Mekkah da'im bermain
Ilmunya zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin

Kitab Allah dipersandangnya

Alam Lahut akan kandangnya
Pada da'irah Hu tempat pandangnya

Zikir Allah kiri kanannya
Fikir Allah rupa badannya
Syurbat Tauhid akan minumannya
Da'im bertemu dengan Tuhannya


(Catatan: Nur al-rahmani = Cahaya Allah yang maha pengasih; Subhani = Maha Terpuji Aku, yaitu Tuhan, berasal dari ucapan syatahat Bayaid al-Bhistami; pingai = cemerlang keemasan, sebutan untuk burung simbolis Simurgh atau `Anqa, yaitu Phoenix, sebagai lambing hakikat ketuhanan dan hakikat diri yang sejati; bisai = elok, anggun; bidai = tirai penutup pintu dari rotan; da’im = selalu, senantiasa; ruhi = bersifat kerohanian; millat = madzab atau aliran keagamaan; musyaf = buku, musyaf; habib Allah = kekasih Tuhan; bayt Allah = rumah Tuhan; F al-Mekkah = di negeri Mekkah; `Alam lahut = alam ketuhanan, istilah dalam kosmologi sufi, di bawah alam ini berturut-turut ke bawah ialah alam jabarut (alam roh), alam malakut (alam batin) dan alam nasut (alam jasmani); da’irah Hu = Lingkaran Dia, merujuk pada posisi melingkar para sufi ketika berzikir mmengelilingi guru kerohanian, yang merupakan lambing dari pusat kehidupan rohani; syurbat tauhid = minuman tauhid, maksudnya salat, zikir dan wirid; sha’im = puasa; qa’im = menegakkan salat, maksudnya salat tahajjud pada waktu malam; naïf itsbat = meniadakan dan mengiyakan, merujuk pada kalimah La ilaha (nafi) ill Allah (itsbat); `isyqi = cinta ilahi; washil = hampir, menyatu, maksudnya menyatu dalam lautan hakikat wujud).
Sajak yang telah dikutip ini sangat halus dan indah, serta sangat dalam maknanya. Tidak mungkin ia ditulis oleh seorang penyajak yang hanya mengetahui tasawuf, tetapi tidak memiliki bakat puitik yang besar. Hamzah Fansuri ialah sufi besar Asia Tenggara, sekaligus penyair besar. Bukan hanya penyair-penyair Melayu Klasik berhutang budi kepadanya, tetapi juga penyair-penyair Indonesia modern, khususnya Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Apabila kita baca kembali sajak-sajak Sanusi Pane dan kemudian membandingkannya dengan sajak-sajak Hamzah Fansuri, akan tampak pola persajakan kedua penyair tidak jauh berbeda, begitu pula cita rasa estetisnya. Kita kutip dua bait sajak Sanusi Pane "Dibawa Gelombang" yang mistikal itu:
Alun membawa bidukku pelahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu

Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Bandingkan dengan dua bait sajak Hamzah Fansuri
Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar datang

Anak mu`allim tahu akan jalan
Da'im berlayar di laut nyaman

Markabmu itu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan


Tetapi pengaruh Hamzah Fansuri lebih ketara pada Amir Hamzah. Pengaruh tersebut tidak terbatas pada aspek puitik dan pola persajakan, tetapi juga dalam hal wawasan estetik dan gambaran dunia (weltanschauung) yang disajikan. Pertautan jiwa Amir Hamzah dengan pendahulunya itu nampak dalam sajaknya "Berdiri Aku". Namun tidak mungkin kita dapat memahami pertautan tersebut tanpa memahami gambaran atau pandangan dunia penulis Melayu secara keseluruhan, darimana wawasan estetik mereka diturunkan. Estetika sebagai teori seni atau pandangan tentang keindahan seni, bukan hal baru bagi para penulis Nusantara. Sebelum agama Islam datang, penulis-penulis Jawa dan Melayu menerapkan estetika India yang didasarkan pada teori Bharata, Ananda Wardhana, Abinawa Gupta dan lain-lain, yang dikenal sebagai Teori Rasa atau Rasa-dhwani (sugesti rasa). Menurut teori Rasa, salah satu tujuan seni ialah membawa penikmatnya mencapai pengalaman unio-mystica atau meluluhkan rasa dengan kesadaran semesta.

Setelah agama Islam datang maka yang mempengaruhi wawasan seni penulis Melayu ialah teori Arab dan Persia, khususnya strukturalisme Abdul Qahir al-Jurjani (abad ke-12 M) dan pandangan para sastrawan dan estetikus sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, `Attar, Jalaluddin Rumi, `Iraqi, Mahmud al-Shabistari dan lain-lain. Mereka memandang karya sastra sebagai bangunan struktural yang kompleks dari pengalaman kejiwaan dan spiritual yang diungkapkan melalui bahasa figuratif (majaz) dan simbolik (tamsil). Imaginasi (takhyil) dan pengalaman spiritual sangat menentukan mutu karya yang dihasilkan seorang penyair.
Dalam sistem estetika Melayu ini karya seni dipandang terutama sebagai sarana transendensi, yaitu tangga naik menuju hakekat tertinggi. Penulis menyajikan obyek-obyek visual dalam karyanya sebagai image dan simbol untuk membawa pembaca mencapai pengalaman transendental `isyq (cinta ilahi), yang bentuk-bentuknya antara lain ialah fana` (persatuan mistik) dan ma`rifat. Di samping itu karya sastra juga berfungsi sebagai ikhtiar penyucian diri, selain memupuk kesadaran sosial dan kemanusiaan berdasar pemahaman terhadap Tauhid.
Mengenai gambaran dunia para penulis Melayu melihat alam semesta sebagai kitab agung yang sangat indah, sebuah karya sastra agung. Sang Khalik menjelmakan dunia ini dari Perbendaharaan Ilmu-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy) didorong oleh Cinta. Menurut mereka lagi, dunia ditulis dengan kalam Tuhan pada Lembaran Terpelihara (lawh al-mahfudz), (Braginsky 1993). Sebagaimana dunia, pribadi manusia juga merupakan sebuah kitab agung, sebuah karya sastra. Pada manusia keseluruhan hikmah alam semesta direkam dengan diringkas. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya, yaitu tanda-tanda-Nya yang menakjubkan. Karena itu mengenal hakekat diri sangat penting bagi manusia (baca Kimia Kebahagiaan karangan Imam al-Ghazali).
Sesuai dengan gambaran tersebut karya sastra mesti dibentuk menyerupai pribadi manusia, yang secara struktural merupakan kesatuan bangunan kejiwaan yang kompleks. Ungkapan zahir atau bentuk luar (surah) karya sastra, sebagaimana tubuh beserta gerak dan isyarat yang disampaikan anggota-anggotanya, hendaknya diusahakan dapat memberi sugesti atau isyarat tentang kehadiran rahasia Tuhan dan keberadaan gaib-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya.
Demikianlah gejala-gejala alam, peristiwa-peristiwa sosial dan sejarah, keindahan obyek yang berbagai-bagai di dunia, merupakan manifestasi dari Cinta Tuhan dan Pengetahuan-Nya yang tersembunyi itu. Semua itu dihadirkan secara estetik untuk memberi efek tertentu kepada jiwa.
Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan, selain dengan jalan akal dan inderawi, ialah melalui peresapan kalbu atau pemahaman intuitif (`isyq). Perkataan seperti berahi, rindu, mabuk, takjub, lena, leka, gharib, asyik, karib tamasya dan lain-lain, yang banyak dijumpai dalam puisi-puisi Melayu klasik, termasuk Amir Hamzah, merujuk pada keadaan rohani di atas.
Di antara sajak Amir Hamzah yang mewakili pandangan dunia dan estetika seperti ialah "Berdiri Aku":
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi
Nenepuk teluk mmengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas

Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak sorak
Elang leka sayap tergulung

Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mencecap rindu bertentu tuju


(dalam Buah Rindu)

Menurut Ibn Sina dan al-Jurjani, image-image dalam puisi di dalam keseluruhan bangunannya, dicipta untuk memberi efek kejiwaan dan moral tertentu kepada pembacanya, bukan semata-mata efek inderawi atau sosial. Penyair-penyair sufi lebih jauh menggunakan image dalam puisi dengan maksud memberi efek kerohanian, khususnya kerinduan kepada Tuhan. Hal seperti itulah yang dijumpai dalam sajak Amir Hamzah.
Gerakan-gerakan alam yang disajikan Amir Hamzah juga sangat kuat dalam memberi sugesti akan kehadiran Yang Satu melalui keindahan yang berbagai-bagai di alam ciptaan.
Perhatikan ungkapan-ungkapan seperti 'mengurai puncak', 'berjulang datang', 'mengempas emas', 'memuncak sunyi' 'sayap tergulung' dan lain-lain, yang menggambarkan serangkaian keadaan dan pengalaman rohani penyair ketika menyaksikan keindahan alam pada waktu senja hari. Semua bentuk keindahan zahir itu dapat dijadikan sarana transendensi apabila kita dapat meresapinya dengan kalbu. Efek kerohanian tertinggi yang dikehendaki penyair melalui sajaknya, ada pada bait terakhir.
Pendek kata melalui sajak tersebut Amir Hamzah memberikan pencerahan (enlightenment) kepada pembacanya sebagaimana penyair-penyair Melayu sebelumnya. Inilah antara lain sumbangan penting penulis Melayu Klasik kepada kita di dunia modern. Mereka memberikan kepada kita gambaran dunia dan cita rasa estetik, yang selain masih merupakan bagian dari sistem kerohanian masyarakat Melayu, disadari atau tidak, juga penting dihayati pembaca modern yang sehari-harinya sering berhadapan dengan masalah kekosongan spiritual dan ketiadaan makna hidup.
Jakarta 2 Juli 1998

Catatan Kaki
1 Di antara factor-faktor yang membuat kegiatan penulisan kitab dan sastra begitu berkembang pada masa ini ialah: (1) Pesatnya perkembangan lembaga pendidikan tinggi yang mampu melahirkan kaum terpelajar dan cerdik cendikia yang selain menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan juga mempunyai apresiasi sastra yang tinggi. Perkembangan lembaga pendidikan telah maju di Aceh sejak zaman Ali Mughayat Syah (1511-1530 M). Kerajaan ini mewarisi kejayaan lembaga penddikan dari kerajaan Samudra Pasai. Pusat pendidikan terbesar ialah Jami`ah Bayt al-Rahman (Universitas Baitur Rahman) di Kutaraja, Banda Aceh sekarang ini. Universitas ini dibagi ke dalam beberapa fakultas atau jurusan seperti fakultas Ilmu Tafsir, Ilmu Tib (Kimia), Ilmu Hisab (matematika), Ilmu Siyas (Politik)) dan lain-lain (Ahmad Je;ani Halimi). Berkat adanya lembaga pendidikan inilah lahir beberapa lokal jenius seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Bukhari al-Jauhari dan lain-lain; (2) Sultan-sultan yang memegang tampuk pemerintahan di Aceh hingga pertenghan abad ke-17 adalah pencinta besar ilmu keagamaan, khususnya tasawuf, dan sastra; (3) Sebagai kerajaan yang makmur dan kaya Aceh mampu mengimpor alat-alat baca tulis dalam jumlah besar. Di antaranya ialah naskah-naskah dalam bahasa Arab dan Persia yang sangat mahal ketika itu, kemudian kertas dan tinta yang harganya juga mahal. Pada akhr abad ke-16 kertas merupakan bahan perdagangan yang penting di Nusantara dan Aceh merupakan kerajaan Nusantara paling awal yang mengimpor kertas dalam jumlah besar untuk kepentingan pendidikan dan penulisan kitab (Mahyudin Haji Yahaya 2000:10-12). (4) Tariqat sufi berkembang pesat. Dalam sejarah Islam para guru dan pemimpin sufi terkenal sebagai golongan cerdik cendekia yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap kegiatan ilmu, pemikiran falsafah dan sastra, begitu juga dalam bidang penulisan puisi dan kegiatan seni (Schimmel 1981; Abdul Hadi W. M. 2001).
Kepustakaan
Abdul Hadi W. M. (2001). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina.
Abdul Hadi W. M. dkk (2003). Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Abu Deeb (1979). Al-Jurjani’s Theory of Poetic Imagery. Warminster, Wilts: Aris & Philips Ltd.
Ahmad Jelani Hilmi (1991). “Sejarah Awal Pendidikan Islam di Alam Melayu”. Jilid 13 Bilangan 12, Desember: 11-15.
Ali Ahmad (1991). Kesusasteraan Melayu Dalam Tasawwur Islam. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia.
Ali Ahmad dan Siti Hajar Che' Man. Bunga Rampai Sastera Melayu Warisan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996.
Al-Attas, M. Naquib (1969). Prelimanary Statement in a General Theory of Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
--------------------------- (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: Universiti Malay Press.
------------------------ (1991)The Origin of the Malay Sha`ir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Azyumardi Azra (1995). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Braginsky, V. I. (1992). “Puisi Sufi Perintis Jalan”. Ceramah di Sudut Penulis
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 27-8 Oktober.
----------------- (1993). "The Emergence of Literary Self Awareness and Its Role in the Shaping of Classical Malay Literature". Dalam The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV Press, 1993. p. 29-40.
---------------- (1994) Nada-nada Islam Dalam Sastera Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Brakel, L. F. (1969) . "The Birthplace of Hamza Fansuri". JMBRAS Vol.42.
Collins, James (1993). “Bahasa Melayu Di Batas Zaman: Renungan Sejarah,
Ramalan Arah”. Kertas Kerja Hari Sastra Malaysia, Shah Alam Selangor 4 – 7 Juni 1993.
Edwar Djamaris (1990). Menggeli Khazanah Sastra Melayu Klasiik. Jakarta: Balai Pustaka.
Ibrahim Alfian (1999). Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Ismail M. Dehiyat (1974) . Avicenna's Commentary on the 'Poetics' of Aristotle.
Leiden: E. J. Brill.
Imam al-Ghazali (1985). Kimia Kebahagiaan. Terj. Tim Mizan. Bandung: Mizan.
Ismail Hamid (1990). Asas-asas Kesusasteraan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kern H. (1917). Verspreiche geschrifter VI. The Hague: Martinus Nijhoff.
Mahayudin Haji Yahaya (2000). Karya Klasik Melayu Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Siddiq Fadzil (1990). “Pengislaman Dunia Melayu: Transformasi Kemanusiaan dan Revolusi Kebudayaan”. Dewan Budaya Jilid 12
Bilangan 11, November: 36-39.
Taufik Abdullah (1987). Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES.
---------------------- (2003). “Pemikiran Islam di Nusantara Dalam Perspektif Sejarah”. Makalah Diskusi Peluncuran Buku Ensiklopedi Tematia Dunia Islam. Jakarta 5 September 2002.
Zahrah Ibrahim (1986). Sastera Sejarah: Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Teeuw A. (1994) . "Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia". Dalam Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya, Hal. 44-73.
Windstedt, R. O (1972). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

ABDUL HADI WM Dikenal sebagai salah satu ahli filsafat di Indonesia. Abdul Hadi Widji Muthari dilahirkan di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1948. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Di masa kecilnya ia sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat pemikir-pemikir kelas dunia seperti Plato, Socrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore dan Muhamad Iqbal. Lahir dari garis keturunan saudagar Tionghoa. Ayahnya, K. Abu Muthar, seorang saudagar dan guru bahasa Jerman. Ibunya, RA. Martiya, seorang putridkeraton asa Solo, Jawa Tengah.
Menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada hingga tingkat sarjana muda (1965-1967). lalu melanjutkan ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral (1968-1971), namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran mengambil program studi antropologi (1971-1973), juga tidak selesai. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar Master dan Doktor dari Universiti Sains Malaysia di Pulau Penang (1992-1996). Sempat mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1973-1974) lalu beberapa tahun di Hamburg, Jerman, untuk mendalami sastra dan filsafat.

Perkembangan Islam di Tanah Pasundan

  ISLAM DI NEGERI PASUNDAN

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Daftar Pustaka
  • Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
  • Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
  • _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
  • Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
  • Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda